Ekonomi

Paradoks Pajak di Tengah Derita Rakyat

Paradoks Pajak di Tengah Derita Rakyat

Keterangan Gambar : Wilda Cahyani (Kader GmnI Kolaka)

Pajak hari ini bukan lagi sekadar instrumen negara untuk membangun, melainkan pisau bermata dua yang kerap menoreh perut rakyat, di tengah problem ekonomi yang kian menghimpit harga kebutuhan naik, upah stagnan, dan lapangan kerja seret rakyat justru dipaksa menyumbang lebih banyak melalui pungutan dan iuran, ironisnya, jerit rakyat itu sering ditutup oleh gegap gempita gedung-gedung megah dan angka-angka statistik pertumbuhan yang dingin. Pajak sejatinya adalah kontrak sosial, rakyat rela menyetor sebagian hasil jerih payahnya demi kesejahteraan bersama. Namun, ketika pajak hanya terasa sebagai beban sementara fasilitas publik, pendidikan, dan kesehatan masih jauh dari kata layak, kontrak itu berubah jadi luka, rakyat membayar, tapi tak merasakan hadirnya negara di dapur mereka, di sekolah anak-anak mereka, ataupun di rumah sakit tempat mereka berobat. Di sinilah paradoks itu menyakitkan, pajak dinaikkan, iuran diperas, tetapi jeritan rakyat dianggap sekadar derau di tengah rapat-rapat elite, negara lupa, bahwa setiap angka di laporan penerimaan pajak sesungguhnya adalah keringat, air mata, bahkan kadang darah rakyat kecil. Maka, suara rakyat yang menjerit akibat problem ekonomi hari ini bukan sekadar keluhan, tapi alarm keras, negara harus kembali pada esensi pajak sebagai jembatan kesejahteraan, bukan palu yang memukul kepala mereka yang paling lemah. Penulis : Wilda Cahyani, Kader DPC GmnI Kolaka